
Sumber gambar: Akademi Anti-Korupsi (ACA) INDIA
Quote:
Kutipan diatas adalah pernyataan salah satu teman ketika sedang melakukan diskusi dan bedah buku dalam salah satu komunitas yang saya ikuti. Dari pernyataan yang dia lontarkan, awalnya membuat saya tidak sependapat. Sebab menurut saya pribadi, kebodahan ditambah kemiskinan adalah suatu kondisi yang sengaja pemerintah pelihara. Sehingga kondisi tersebut tercipta dengan cara yang terencana dan sistematis.
Namun setelah melihat apa yang saat ini terjadi terlalu berlebihan untuk mengakui bahwa pemerintah kita sepintar itu untuk membuat suatu rencana yang sistematis. Berikut adalah beberapa bukti inkompetenpemerintah Indonesia:
1. Kebocoran Pusat Data Nasional
Pada 20 Juni 2024 terjadi serangan siber terhadap sistem Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) di Surabaya. Serangan siber tersebut disebabkan serangan perangkat keras perusak atau ransomwareBrain Chipper. Dalam draf yang dikeluarkan oleh Pusat Analisis Keparlemenan Badan Keahlian DPR RI, dikatakan bahwa, “Peristiwa penyerangan siber atas PDNS ini menunjukkan bahwa ternyata pengamanan atas data nasional pada PDNS belum bisa diandalkan.
Selain kebocoran PDN tahun-tahun sebelumya juga terjadi kebocoran data yang serupa diantaranya, Kebocoran data pemilihan KPU (November 2020), kebocoran data BPJS Kesehatan (Mei 2021), kebocoran data Indihome dan PLN (April-Mei 2022), kebocoran data pemilihan KPU (November 2023). Selain kebocoran data yang melibatkan PDN ada beberapa kebocoran data lainnya seperti data INAFIS POLRI (tahun 2022) dan BAIS TNI (tahun 2023).
2. Kegagalan Penanganan Korupsi
Pada tahun 2019 pemerintah telah melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tujuan utama dari revisi tersebut adalah untuk memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi, khususnya melibatkan lembaga penegak hukum lain seperti Kejaksaan Agung dan Kepolisian, serta memberikan kepastian hukum dalam penanganan perkara korupsi (2).
Tetapi kenyataan dilapangan sebagai bukti bahwa revisii tersebut percuma bahkan menunjukan inkompetensi pemerintah adalah penurunan skor indek persepsi kurupsi (CPI) tahun 2022, dari 38 (tahun 2021) menjadi 34 (tahun 2022). Penurunan ini kemudian diperkuat dengan berbagai kasus korupsi ya terungkap seperti korupsi Pertamina (2018-2023), korupsi LPEI (2025), kurupsi Bank Jatim dan BJS (2025), korupsi Hasto (2024) dan kurupsi timah illegal (2023-2024).
Selain beberapa bukti kecil di atas yang menunjukan inkompentis yang terjadi secara strukturan ada beberapa bukti lain yang menunjukan inkompentis individual oleh pejabat public atau pemerintah di Indonesia, yaitu:
1. “Dimasak saja.”
Pernyataan tersebut dikeluarkan oleh Kepala Komunikasi Kepresidenan yaitu Hasan Hasbi saat mananggapi terror yang diterima oleh jurnalis Tempo berupa kiriman Kepala Babi.
2. “Saat ini MBG lebih mendesak daripada lapangan pekerjaan.”
Pernyataan ini dikeluarkan oleh Kepala Bappenas yaitu Rachmat Pambayun saat menanggapi isu pengangguran dan daya beli masyarakat yang turun.
3. “… Peristiwa kerusuhan 98 bukan pelanggaran HAM berat”
Pernyataan ini dikeluarkan oleh Koordinator Hukum, HAM Imigrasi dan Pemasyarakatan yaitu Yusril Ijha Mahendra. Pernyataan tersebut tentu bertentangan dengan laporan resmi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) 1998 dan Penyelidikan Komnas HAM.
Respon atau pernyaan yang dikeluarkan oleh pajabat publik tersebut menunjukan kurangnya kualitas komunikasi bahkan memperkuat persepsi inkompentasi dalam merespon dan menanggani isu public yang tengah terjadi.