Dari Lobster Hingga Kimchi di Makan Bergizi

Dari Lobster Hingga Kimchi di Makan Bergizi

Tak ada yang mengenaskan di menu makan bergizi di Korsel saat ini. Namun, sempat juga terjadi keracunan besar di sepanjang perjalanan makan bergizi di Korsel

Meski sebagian wilayah Amerika Serikat hhari ini makin memperhatikan kualitas makanan di sekolah, imaji menu sarapan pizza, kentang goreng, dan cheeseburger melekat di ingatan banyak anak Amerika yang kini dewasa. Mereka mengungkapkannya di kolom komentar video-video Gaezari, pemilik kanal makanan di YouTube, TikTok, dan Instagram dengan total 4 juta pengikut, yang mendokumentasikan makanan kantin di berbagai SMA di Korea Selatan.

Won Taehun, orang di balik Gaezari, lahir dan besar di Los Angeles dan kini menempuh studi di Korea Selatan. Mulanya, ia membagikan video makan siangnya di kantin fakultas untuk teman dan keluarganya. Setelah rutinitas itu jadi konten, ia pun mulai mengunjungi kantin-kantin di kantor dan sekolah. Taehun awalnya meminta izin untuk berkunjung dan merekam, tetapi videonya menjadi sangat populer sampai beberapa sekolah dan perusahaan justru mengundangnya makan di sana.

Di salah satu video viralnya, Gaezari mengambil nampan, lalu langsung menuju ke potongan ekor lobster keju. Berikutnya, omurice (nasi omelet) dengan demi-glace, salad nanas dengan saus oriental, kimchi, serta acar mentimun dan lobak. Ia lalu menyendokkan sup tahu ke mangkuk dan meraih jus buah plum. Demikianlah makan siang disajikan di SMA Gumi.

Di sekolah lain, SMA Jamsil misalnya, menunya nasi tabur furikake, tantanmen, ayam goreng taiwan, tumis kangkung, kimchi, dan minumnya brown sugar milk tea. Melihat itu, netizen Amerika antara menyampaikan rasa kagum atau menceritakan pengalaman ‘cafeteria blues­’­-nya dengan jenaka, seperti, “Itu terlihat enak, tapi pernah enggak kamu merasakan grilled cheese yang rasanya ajaib seperti mereka lupa melepaskan plastik dari kejunya?”, atau, “Kukira ini kantin di sekolah kuliner, ternyata di SMA, ya.”

Sentimen yang mirip juga disampaikan netizen Indonesia saat menyaksikan seorang pengguna X asal Indonesia yang tinggal di Busan, Prima (@primawansatrio), mencuit menu makan di sekolah anaknya yang masih TK nol kecil. Di tengah pelaksanaan makan siang bergizi (MBG) di Indonesia, yang diwarnai kritik soal kualitas dan kuantitas makanan hingga kasus keracunan, cuitan dan foto-foto Prima tampak kontras dan bikin iri: gambaran program makan gratis yang betulan bergizi dan berhasil.

Isi piringnya warna-warni dan tidak ada kesan mengenaskan. Pada makan siang, tampak baki stainless steel lima kompartemen seperti yang umum ditampilkan di video Gaezari, dengan komponen nasi, sup tahu kepiting, serta lauk pauk berupa telur dengan kaldu kecap, brokoli rebus, dan kimchi. Selain itu, Prima juga menampilkan foto sarapan, yaitu bubur udang dan snack sore berupa pisang, pajeon (panekuk daun bawang), dan snack sore berupa pisang, pajeon (panekuk daun bawang), dan semangkuk kecil udon dengan tahu dan sayur.

Prima menyekolahkan anaknya di TK swasta, tetapi jauh dari stereotip sekolah swasta yang biasanya mahal, ia hanya mengeluarkan sumbangan pendidikan sebesar 140.000 won atau setara Rp 1,6 juta sebulan. Sebabnya, 70 persen biaya pendidikan ditanggung oleh pemerintah. Sejak 2019, makan siang gratis juga berlaku di semua sekolah baik itu sekolah negeri maupun swasta, serta di semua jenjang pendidikan hingga SMA.

“Aslinya kami mesti bayar 490.000 won (Rp 5,5 juta) per bulan, tapi dapat potongan jadi cuma perlu bayar SPP 140.000 won. Itu sudah meliputi makan bergizi tiga kali, antar jemput, karyawisata, dan pentas seni,” ujarnya di X. Biaya itu terbilang murah, mengingat UMR Korea 2.060.740 won (Rp 23,5 juta) untuk total 209 jam bekerja.

Namun, keberhasilan Korea Selatan memberi makan anak-anak hari ini adalah buah dari perjalanan panjang dan bertahap. Dimulai pada tahun 1953, setelah Perang Korea berakhir, bantuan makanan dari Kanada, UNICEF, CARE, dan USAID diberikan di beberapa SD dalam bentuk susu, bubur jagung, roti, sujebi, dan biskuit. Bantuan itu berhenti setelah 20 tahun, lalu pemerintah mengadakan beberapa program percobaan makan siang di sekolah yang dilaksanakan terbatas.

Pada 1981, makan siang di sekolah mulai terlembaga dengan disahkannya School Meals Act. Dari sini, terbangun sistem anggaran dan fasilitas pendukung. Periode 1981-1990, makan siang dilaksanakan di 12 persen sekolah dasar dan sama sekali belum menyentuh SMP dan SMA.

Setelah target kebijakan school meals meluas, beberapa SMP dan SMA mengalami kesulitan menyediakan makanan karena tak ada dapur. School Meals Act lantas diamandemen pada 1996 agar sekolah dapat bekerja sama dengan pihak ketiga dan mengangkut makanan dari luar. Namun, keracunan skala besar yang terjadi di beberapa sekolah yang meneken kontrak dengan perusahaan makanan, membatalkan kebijakan itu. Pada 2007, berdasarkan amandemen UU terbaru, layanan makanan harus dikelola sendiri oleh sekolah.

Pada Juni 1999, Korea juga mengadaptasi model HACCP dan mengembangkannya untuk diterapkan sebagai pedoman manajemen kebersihan dalam layanan makan siang sekolah. Pada 2004, pedoman itu resmi digunakan di sekolah-sekolah.

Salah satu tokoh kunci yang menyukseskan sistem manajemen keamanan pangan ini adalah Hyeyeong Cho, ahli gizi yang menjabat wakil direktur dan direktur Departemen Sekolah, Kesehatan, dan Pendidikan Jasmani di Kementerian Pendidikan 1996-2007. Ia memprakarsai modernisasi dapur sekolah dan menyiapkan dasar hukum untuk meningkatkan kualitas makanan. Selama periode itu pula, partisipasi sekolah yang menyajikan makan siang meningkat hampir 100 persen di tingkat SD (1998), SMA (2000), dan SMP (2003).

Tokoh sentral lainnya yaitu Il-sun Yang, profesor sekaligus wakil presiden Departemen Pangan dan Gizi di Universitas Yonsei. Ia menghasilkan sejumlah besar penelitian berkualitas tentang makan siang di sekolah, yang berkontribusi pada peningkatan kualitas program itu selama 35 tahun terakhir. Saat ia menjabat sebagai presiden Asosiasi Dietetik Korea 2022-2005, ia juga turut membangun sistem ‘guru gizi’ di sekolah.

Undang-Undang Khusus tentang Manajemen Keamanan Pangan untuk Anak-Anak berlaku pada Maret 2008, menetapkan Badan Pengawas Obat dan Makanan Korea (KFDA) dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas pendidikan dan promosi keamanan pangan dan gizi untuk anak-anak. Kepala sekolah dasar dan menengah diwajibkan untuk memberikan pendidikan pangan dan gizi.

Pembuat konten Won Taehun juga menyampaikan, keberadaan ahli gizi di tiap sekolah menjadi ciri school meals di Korea, selain hampir semua makanan baru dibuat sebelum jam makan siang. Ahli gizi merancang menu, lalu sekolah mengabarkan kepada wali murid seminggu sebelumnya. Orang tua dapat mengajukan permintaan khusus seperti mengganti menu atau menghindari bahan makanan tertentu, misalnya karena alasan alergi atau kehalalan.

Yang membedakan dengan Amerika, peran guru gizi di Korea tak berhenti sampai di situ. Mereka ahli gizi sekaligus guru. Tugasnya bukan hanya mengatur operasional school meals, melainkan juga menjadi edukator dan konselor. Sejak 2006, guru gizi jadi garda terdepan yang mengenalkan kepada siswa pola makan yang baik, membentuk kebiasaan makan siswa, meningkatkan pemahaman mereka tentang produksi dan konsumsi pangan, sekaligus mengembangkan budaya menyantap tradisional.

Cara guru gizi mengajar beragam, yaitu selama jam makan, melalui mata pelajaran, melalui kegiatan kreatif, dan menggunakan media komunikasi seperti situs web, aplikasi seluler, buletin, dan siaran radio. Selain itu, konseling individu maupun kelompok dilakukan oleh guru gizi kepada siswa yang memiliki masalah kesehatan seperti berat badan rendah, anemia, dan obesitas.

Per Februari 2019, 10.304 guru gizi ditempatkan di 10.513 sekolah yang memiliki layanan makan siang di sekolah. Pada waktu yang sama, rata-rata 5,6 juta siswa menyantap makan siang di 11.818 SD, SMP, SMA, dan SLB di Korea setiap hari.

Sementara itu, anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk makan siang di sekolah selama Maret 2018-Februari 2019 adalah enam triliun won. Dananya berasal dari Kementerian Pendidikan 56 persen, pemerintah kota 22,7 persen, sumbangan wali murid 19,2 persen (sudah jauh berkurang dibandingkan pada tahun 2008, 67 persen), dan sumber lainnya 2,1 persen.

Penulis: Alya Nurbaiti
Editor: Irwan Nugroho
detik.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *