SINGAPURA – Ekspor Tiongkok ke Asia Tenggara semakin melaju pesat, dan ini diprediksi akan terus meningkat seiring dengan berkurangnya daya tarik produk Tiongkok di pasar Barat, ditambah dengan ketegangan geopolitik yang semakin memanas dan kemungkinan kembalinya kepresidenan Trump di Amerika Serikat.
Fenomena ini membawa keuntungan sekaligus tantangan besar bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Di satu sisi, konsumen di kawasan ini diuntungkan dengan harga barang yang lebih murah dan variasi produk yang beragam. Namun, di sisi lain, industri lokal menghadapi kesulitan yang semakin berat.
“Perusahaan lokal kesulitan bersaing dengan harga murah dari produk Tiongkok. Akibatnya, banyak yang mengalami penurunan margin keuntungan, penutupan pabrik, dan pemutusan hubungan kerja,” kata Doris Liew, ekonom dari Institut Demokrasi dan Urusan Ekonomi (IDEAS) Malaysia.
“Asia Tenggara kini tengah menghadapi dampak dari kelebihan pasokan barang Tiongkok, dan masalah ini tidak hanya memengaruhi kawasan ini, tetapi juga negara lain di luar Asia.”
Mesin Ekspor Tiongkok yang Semakin Kuat
Ekspor menjadi tulang punggung perekonomian Tiongkok, terutama di tengah melambatnya sektor properti dan rendahnya permintaan domestik. Ekspor menyumbang sekitar 20 persen dari PDB negara tersebut.
Pada tahun 2024, ekspor Tiongkok tumbuh sebesar 7,1 persen, mencapai 25,45 triliun yuan (sekitar USD 3,47 triliun), untuk pertama kalinya melampaui angka 25 triliun yuan. Ini memperkuat posisi Tiongkok sebagai negara dengan perdagangan barang terbesar di dunia.
Namun, surplus barang yang dihasilkan oleh manufaktur Tiongkok, yang mulai dipicu oleh kesulitan di pasar domestik, menciptakan kelebihan pasokan barang mulai dari produk murah hingga premium. Liew menambahkan, salah satu cara Tiongkok mengatasi kelebihan ini adalah dengan mengekspor produk dengan harga di bawah biaya produksi, yang akhirnya mengganggu pasar global.
Ekspor Tiongkok ke Asia Tenggara yang Meningkat
Sebagian besar kelebihan pasokan barang ini kini mengalir ke Asia Tenggara, seiring dengan meningkatnya ketegangan perdagangan antara Tiongkok dan negara Barat. Pengiriman barang Tiongkok ke negara-negara ASEAN mengalami lonjakan 18,9 persen pada Desember 2023, dengan nilai ekspor mencapai USD 523,7 miliar.
ASEAN kini menjadi pasar ekspor terbesar bagi Tiongkok, berkat keberadaan Kawasan Perdagangan Bebas Tiongkok-ASEAN (CAFTA) yang mempermudah ekspor barang tanpa hambatan tarif yang signifikan.
Keuntungan dan Tantangan bagi Asia Tenggara
Produk Tiongkok memberikan keuntungan besar bagi konsumen di Asia Tenggara. Barang-barang ini sering kali lebih murah dibandingkan dengan produk lokal, memberikan pilihan yang lebih terjangkau, terutama bagi keluarga dengan pendapatan rendah.
Beberapa produk teknologi tinggi, seperti kendaraan listrik, juga semakin dihargai karena kualitasnya yang membaik dan harga yang bersaing, menantang anggapan lama bahwa barang buatan Tiongkok seringkali bermasalah dengan kualitas.
Namun, lonjakan barang-barang murah dari Tiongkok juga mengancam usaha-usaha lokal. Banyak perusahaan lokal kesulitan bersaing dengan harga yang jauh lebih rendah, dan beberapa sektor mulai mengalami dampak serius. Di Indonesia, misalnya, industri tekstil dan keramik menjadi yang paling terpukul, dengan lebih dari 50.000 pekerja kehilangan pekerjaan akibat penutupan pabrik.
Di Thailand, sekitar 2.000 pabrik ditutup antara Juli 2023 dan Juni 2024, menyebabkan hilangnya lebih dari 50.000 pekerjaan. Selain itu, negara-negara ASEAN lainnya juga mulai merasakan dampak serupa, bahkan beberapa di antaranya menggelar protes terkait lonjakan impor murah dari Tiongkok.
Langkah-Langkah yang Ditempuh Negara ASEAN
Beberapa negara ASEAN mulai mengambil langkah untuk melindungi industri domestik mereka. Vietnam, misalnya, telah melakukan penyelidikan anti-dumping terhadap produk baja panas dari Tiongkok dan India, serta mengenakan tarif tambahan pada produk aluminium dari Tiongkok.
Thailand juga mengenakan tarif tambahan pada produk baja panas dari Tiongkok dan mengenakan pajak barang dengan nilai di bawah 1.500 baht (sekitar USD 40) untuk mengurangi impor barang berkualitas rendah.
Di Indonesia, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan bahwa pemerintah berencana mengenakan tarif hingga 200 persen pada produk Tiongkok seperti tekstil dan keramik untuk melindungi industri lokal.
Namun, meskipun ada upaya ini, banyak analis berpendapat bahwa tidak akan terjadi konfrontasi ekonomi besar antara Tiongkok dan negara-negara ASEAN, karena Tiongkok masih menjadi pemasok utama untuk beberapa barang yang dibutuhkan oleh kawasan tersebut.
Koordinasi yang Diperlukan di ASEAN
Dalam menghadapi lonjakan ekspor Tiongkok, para analis menekankan pentingnya koordinasi yang lebih baik antar negara ASEAN. Meskipun negara-negara di kawasan ini memiliki tantangan yang berbeda, mereka perlu bekerja sama untuk mengatasi dampak dari kelebihan pasokan barang Tiongkok tanpa merugikan sektor domestik mereka.
Beberapa pakar mengungkapkan bahwa integrasi ekonomi yang lebih dalam dengan Tiongkok dapat memberikan manfaat dalam hal infrastruktur yang lebih baik, teknologi canggih, dan penciptaan lapangan kerja. Namun, jika tidak dikelola dengan hati-hati, dampak dari pasokan barang murah ini bisa menimbulkan ketidakmerataan yang besar antar negara ASEAN.
Untuk itu, kebijakan perdagangan yang lebih terkoordinasi dan berbasis dialog dengan Tiongkok akan lebih menguntungkan kawasan ini dalam jangka panjang.