

“Setiap seragam punya cerita. Tapi gak semua cerita berakhir bahagia. Kadang seragam itu dipakai untuk melindungi, kadang juga bikin orang lari, walau gak salah apa-apa.”
Halo gan,
Kalau denger kata “polisi”, reaksi warga +62 itu macem-macem: dari yang langsung minggir ke bahu jalan, nyari helm cadangan, sampe yang ngeluh dalam hati karena trauma tilang zaman dulu. Kita semua pernah ngalamin fase itu. Gak usah jaim.
Jadi daripada bahas pake teori atau sok-sokan idealis, mending kita buka aja fakta-fakta di lapangan berdasarkan pengalaman rakyat biasa yang hidup dari penghasilan pas-pasan, motor nyicil, dan SIM yang kadang lupa diperpanjang.
1. Setiap Ada Polisi, Jalanan Langsung Tertib (Tapi Sementara)
Bisa dibilang, kehadiran polisi di persimpangan itu efeknya setara kayak kunjungan pejabat: semua langsung rapi. Ojek online yang biasa naik trotoar, langsung turun ke jalan. Ibu-ibu naik motor yang biasanya motong jalur, tiba-tiba sopan.
Tapi giliran polisi geser dua meter, langsung chaos lagi.
Artinya? Ketertiban masih bergantung sama keberadaan fisik aparat, bukan kesadaran. Fenomena ini udah umum di kota-kota besar kayak Jakarta, Bandung, sampai Makassar. Kamera E-TLE mulai bantu, tapi masih banyak daerah yang belum terjamah teknologi itu.
2. Tilang Manual Masih Eksis, dan “Nego” Masih Jadi Pilihan Favorit
Walau udah digaungkan sistem E-TLE (Electronic Traffic Law Enforcement), praktik tilang manual masih banyak ditemukan. Terutama di daerah-daerah yang belum terpasang kamera tilang otomatis.
Dan ya, kita gak bisa tutup mata: warga masih lebih suka ditilang manual… karena masih bisa “diatur”.
Bukan asumsi. Survei Indikator Politik Indonesia (2023) nyebut, 41% warga lebih memilih damai langsung dengan petugasdaripada ikut prosedur resmi. Bukan karena suka nyogok, tapi karena urusannya ribet dan makan waktu.
3. Laporan Hilang Masih Butuh Sabar dan Daya Tahan Emosi
Coba deh tanya orang yang pernah kehilangan motor, dompet, atau HP. Laporan kehilangan ke kantor polisi itu masih kayak uji kesabaran: dari disuruh nulis ulang kronologi, bikin surat pernyataan, sampe dilempar sana-sini.
Di beberapa tempat, petugasnya memang cepat dan responsif. Tapi sayangnya itu belum jadi standar nasional. Banyak laporan warga yang merasa dipingpong atau bahkan diperlakukan kayak pelaku, bukan korban.
4. Kasus Kecil Susah Ditangani, Tapi Kasus Viral Bisa Kelar Dalam Hitungan Hari
Ini udah sering kejadian. Kasus pencurian sandal di kampung bisa mandek berbulan-bulan. Tapi begitu ada kasus viral di TikTok atau Twitter, mendadak semua bergerak cepat.
Contoh? Kasus pemalakan di lampu merah atau prank toxic yang viral—biasanya baru dapet penanganan serius setelah netizen ribut.
Artinya apa? Kadang media sosial lebih efektif daripada laporan resmi. Ironis, tapi nyata.
5. “Gak Semua Polisi Jahat” Itu Benar, Tapi Sulit Dibuktikan di Mata Publik
Kita semua tau ada banyak polisi yang kerja jujur dan dedikatif. Tapi image yang kuat justru datang dari segelintir oknum yang bikin rusak.
Contohnya, kasus Sambo. Kasus itu ngebuka banyak tabir tentang konflik internal dan budaya impunitas. Sekali lagi, bukan asumsi, itu fakta hukum terbuka yang diikuti publik nasional.
Efeknya? Kepercayaan publik jeblok. Survei LSI di akhir 2022 menunjukkan tingkat kepercayaan publik terhadap Polri sempat anjlok ke bawah 60%. Buat institusi besar, itu sinyal merah.
6. Rasa Aman Itu Ada, Tapi Masih Selektif
Kalau lo tinggal di daerah yang “panas” deket pasar, terminal, atau kawasan padat, keberadaan polisi memang bisa bikin tenang. Tapi di banyak kasus, patroli itu musiman, sering muncul cuma waktu menjelang pemilu, atau pas ada kunjungan pejabat.
Masih banyak warga yang ngerasa harus jaga diri sendiri dulu, karena respons polisi gak selalu bisa diandalkan cepat. Cek aja berita-berita soal laporan kehilangan anak, kekerasan dalam rumah tangga, atau keributan antar warga. Respons bervariasi, tergantung lokasi dan siapa yang ngelapor.
7. Polisi Baik Ada, Tapi Mereka Jarang Masuk Headline
Pernah ada polisi yang nolongin ibu melahirkan di jalan tol, yang patroli hujan-hujanan, atau bahkan yang dorong mobil mogok. Tapi berita-berita begitu tenggelam di bawah kasus suap, pungli, dan tembak-menembak antar aparat.
Media gak bisa disalahin juga. Judul “Polisi Berbuat Baik” gak klikbaitable dibanding “Polisi Tembak Polisi”.
Jadi, citra polisi yang positif kalah cepat sama realitas internet. Polisi baik gak punya buzzer.
Penutup: Gak Harus Suka, Tapi Gak Buta Fakta
“Kalau udah terlalu sering kena, orang gak perlu diceramahi. Cukup dikasih tahu, dan mereka bakal ngerti sendiri.”
Jadi ya begini, Gan. Tulisan ini gak nyuruh lo suka sama polisi, gak juga minta lo benci. Cuma nampilin apa yang sehari-hari kita lihat dan rasain. Karena buat warga +62, institusi itu bukan soal visi-misi, tapi soal interaksi sehari-hari.
Kalau tulisan ini bikin lo angguk-angguk, mesem-mesem, atau nginget pengalaman pribadi… sebarkan tulisan ini. Biar makin banyak yang tahu kalau kita semua sebenarnya udah ngerti, cuma butuh saling denger.
Referensi dan Data:
link, link 2, link 3, link 4, link 5
Di sebuah lembah yang terperangkap di antara dua puncak gunung tinggi di Pegunungan Caucasus, terdapat sebuah desa yang tidak ada duanya di dunia. Desa itu, yang dikenal oleh penduduk lokal sebagai Arkan, tidak pernah mengalami malam. Senja terus berlangsung di sana, berlarut-larut hingga tak terhingga, dan matahari terus menggantung rendah di cakrawala. Tidak pernah benar-benar siang, dan tidak pernah benar-benar malam.
Sejak dahulu kala, penduduk Arkan percaya bahwa desa mereka adalah berkat dari Tuhan, suatu anugerah yang memungkinkan mereka hidup dalam keabadian cahaya. Tapi bagi para ilmuwan yang datang untuk menyelidiki, Arkan adalah misteri yang lebih dalam dari sekadar anomali cuaca. Mereka yang datang untuk menyelidiki fenomena ini, sering kali tidak kembali. Yang kembali, mengaku telah melangkah dalam waktu yang lebih lama dari yang mereka kira—seakan telah melewati satu dekade meskipun hanya beberapa hari menghilang.
—
Pada tahun 1999, seorang astrofisikawan asal Inggris, Dr. Eleanor Pierce, memutuskan untuk meneliti fenomena ini. Dikenal luas karena keahliannya dalam mempelajari efek relativitas waktu di wilayah gravitasi ekstrim, Dr. Pierce berharap dapat menemukan penjelasan ilmiah untuk keanehan yang terjadi di Arkan.
Pada awalnya, kedatangannya disambut hangat oleh penduduk desa. Mereka merasa diberkati oleh kedatangan seorang ilmuwan yang akan memvalidasi keunikan desa mereka. Dr. Pierce langsung mengatur peralatan, termasuk teleskop, alat pengukur waktu, dan sensor gravitasi untuk mengukur perbedaan temporal yang dapat menjelaskan fenomena ini.
Namun, semakin dalam ia melakukan pengamatan, semakin aneh kejadiannya. Pada malam pertama, ia mencatat bahwa meskipun matahari terlihat sangat rendah, cahaya yang dipantulkan tidak seperti cahaya senja biasa. Itu terlalu tajam, terlalu putih. Tidak ada bayangan yang terbentuk, dan langit hanya menunjukkan semburat ungu dan emas, seolah waktu itu sendiri melengkung di atas desa.
Hari kedua, ia merasa bahwa waktu berjalan dengan sangat lambat. Satu hari terasa seperti dua hari, dan satu jam terasa seperti dua jam. Namun, saat ia melihat jam tangannya, tidak ada perubahan—waktu terus berjalan dengan kecepatan yang sama seperti di luar desa. Tetapi ia merasakan, di dalam dirinya, perubahan yang aneh, seolah ia telah memasuki dimensi lain.
—
Pada hari ketiga, Dr. Pierce berkeliling desa, mewawancarai penduduk yang telah tinggal di sana sepanjang hidup mereka. Mayoritas dari mereka memiliki cerita yang sama—mereka tidak pernah melihat malam. Mereka hanya ingat bahwa matahari selalu terbenam di horizon, tetapi hanya untuk terbit lagi dalam beberapa jam, dalam senja yang tak berkesudahan. Keajaiban yang mereka alami bukanlah sesuatu yang mereka takuti, tetapi sesuatu yang diterima sebagai bagian dari kehidupan mereka.
Salah satu penduduk desa, seorang wanita bernama Lilia, mengungkapkan sesuatu yang mengejutkan. “Waktu di Arkan tidak berjalan seperti di tempat lain,” kata Lilia dengan suara lembut. “Kami sudah terbiasa hidup dalam waktu yang… tak terdefinisi. Kadang kami merasa bahwa masa lalu dan masa depan bercampur di sini. Orang yang baru datang merasa bingung, tapi kami sudah biasa.”
Lilia bercerita tentang seorang pria yang datang ke Arkan beberapa tahun yang lalu. Ia datang dengan harapan menyaksikan keajaiban, tetapi ketika ia kembali setelah seminggu, ia berbicara seolah-olah telah hidup di desa itu selama bertahun-tahun. Wajahnya berubah, seakan ia menua dalam waktu yang singkat, dan ia tidak bisa mengingat apa yang terjadi pada dirinya selama berhari-hari di desa.
“Mereka yang datang dan pergi, sering kali tidak mengerti waktu yang telah mereka lewati,” lanjut Lilia. “Beberapa tahun yang lalu, seorang ilmuwan datang dengan timnya, dan mereka hilang. Kami tidak tahu apa yang terjadi pada mereka.”
—
Dr. Pierce semakin terobsesi. Ia memutuskan untuk tinggal lebih lama, mencoba memetakan anomali waktu yang terjadi di Arkan. Ia mengatur alat pengukur gravitasi di tengah desa, menunggu hasil pengamatan yang lebih jelas. Ia bahkan mengamati langit, memetakan bintang-bintang yang tampak menggantung lebih rendah dari biasanya.
Namun, sesuatu mulai berubah. Suatu malam (atau apakah itu malam?), ia merasakan sebuah sensasi yang sulit dijelaskan. Ia merasa seperti terbangun dari mimpi panjang, meskipun ia baru saja tidur selama beberapa jam. Jam tangannya, yang selalu menunjukkan waktu yang tepat, tiba-tiba menunjukkan waktu yang lebih lambat. Dua hari berlalu dalam waktu semalam. Ia merasa bahwa batas-batas waktu mulai pudar di sekitar Arkan.
Pada akhirnya, Dr. Pierce merasakan efek anomali waktu yang lebih dalam. Seakan ia hidup di luar batasan ruang dan waktu, seolah ia bisa melihat semua kejadian di masa depan dan masa lalu dalam satu pandangan. Dia melihat orang-orang yang sudah lama meninggal di desa itu, berkeliling seolah mereka masih hidup. Ada suatu irama temporal yang tak terduga, yang melintasi hidup dan kematian.
Di hari ke-10, Dr. Pierce mengirimkan surat kepada koleganya di luar desa, mengatakan bahwa ia telah menemukan sesuatu yang luar biasa. Namun, surat itu tidak pernah sampai.
—
Beberapa minggu setelah Dr. Pierce menghilang, tim penyelamat dikirim untuk mencarikannya. Mereka tiba di desa dengan harapan bisa menemukan jejak atau petunjuk tentang keberadaannya. Namun, mereka tidak menemukan apa-apa selain peralatan ilmiah yang telah ditinggalkan dengan rapi, dan catatan yang mulai memudar. Semua penduduk desa mengaku tidak tahu apa yang terjadi pada Dr. Pierce.
Para penyelamat merasa ada sesuatu yang tidak beres. Waktu di Arkan terasa berbeda. Mereka yang baru datang merasa waktu berjalan lebih cepat, seakan mereka hanya berada di sana selama beberapa jam, tetapi saat mereka melihat jam, sudah berhari-hari berlalu.
Tim penyelamat akhirnya memutuskan untuk meninggalkan desa itu. Mereka kembali ke kota terdekat dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan—seolah mereka baru saja melewati suatu peristiwa yang diluar jangkauan pemahaman mereka. Saat mereka kembali ke dunia luar, mereka merasa seolah waktu telah berjalan lebih cepat di luar desa daripada di dalamnya.
—
Seiring berjalannya waktu, Arkan tetap menjadi misteri yang tak terpecahkan. Para ilmuwan yang berusaha menyelidikinya sering kali merasa terperangkap dalam fenomena temporal yang tidak dapat mereka kontrol. Desas-desus tentang desa yang tak pernah mengalami malam itu mulai tersebar lebih luas. Beberapa orang menyebutnya sebagai “tempat terlarang,” sementara yang lain menganggapnya sebagai keajaiban alam yang tak akan terulang.
Namun, satu hal yang pasti—keabadian cahaya di Arkan adalah kenyataan yang tak dapat diabaikan. Sebuah desa yang terperangkap di antara batas-batas waktu, yang tidak pernah benar-benar siang dan tidak pernah benar-benar malam. Sebuah tempat di mana dunia luar dan dunia dalam berbenturan, dan segala sesuatu yang masuk ke dalamnya, pada akhirnya, menjadi bagian dari teka-teki yang lebih besar.
—
Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintah Jepang mengatakan bahwa bisnis di negara itu mengalami pelemahan yang signifikan akibat dari tarif yang dijatuhkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Hal ini disebutkan langsung oleh Menteri Revitalisasi Ekonomi Ryosei Akazawa, Senin (14/4/2025).
Dalam konferensi pers menjelang keberangkatannya ke Washington untuk bernegosiasi, Akazawa mengatakan laba perusahaan Jepang turun ‘dari hari ke hari’ akibat tarif yang dijatuhkan Presiden Trump. Ia juga menyerukan solusi yang cepat atas kondisi ini.
“Karena beberapa tarif telah berlaku, laba perusahaan Jepang dipotong dari hari ke hari,” kata Akazawa di parlemen.
“Semakin cepat (masalah ini ditangani), semakin baik,” tuturnya.
Di Washington, Akazawa dilaporkan akan mengeluarkan seruan keras untuk peninjauan ulang tarif Trump. Diketahui, Jepang sejauh ini gagal dalam upaya untuk mendapatkan pengecualian dari tarif AS, termasuk 25% pada sektor otomotif global yang mulai berlaku pada awal April.
“Saya akan melakukan yang terbaik, mengingat apa yang terbaik untuk kepentingan nasional kita dan apa yang paling efektif,” katanya.
Akazawa juga menekankan dalam sebuah wawancara dengan harian Yomiuri Shimbun yang diterbitkan hari Senin bahwa penting untuk memperoleh pemahaman tentang apa yang sebenarnya diinginkan pihak AS. Ia juga mengatakan bahwa ia siap untuk berbicara tentang pengembangan ladang gas alam cair (LNG) di Alaska jika pihak AS mengangkat masalah tersebut.
“Kami harus menyampaikan pesan bahwa kami memiliki kekhawatiran serius mengenai konsistensi dengan perjanjian Organisasi Perdagangan Dunia dan perjanjian perdagangan Jepang-AS,” katanya, menggemakan komentar sebelumnya oleh menteri perdagangan Jepang.
Media Jepang, mengutip sumber pemerintah, mengatakan pembicaraan Akazawa dengan Menteri Keuangan AS Scott Bessent dan Perwakilan Dagang Jamieson Greer dijadwalkan pada hari Rabu.
Perusahaan Jepang merupakan investor terbesar di AS. Tahun lalu sektor otomotif Negeri Sakura menyumbang sekitar 28% dari 21,3 triliun yen (Rp 2.383 triliun) ekspor Jepang ke AS.
Di sisi lain, Trump mengatakan bulan lalu bahwa Jepang dan Korea Selatan termasuk di antara negara-negara yang ingin bekerja sama dengan AS pada jaringan pipa LNG di Alaska. Diketahui, proyek itu sempat terhambat akibat biaya yang besar serta kesulitan logistik.
Di dalam ruang gelap kepala kita, ada sesuatu yang lebih terang dari dugaan—otak manusia dapat menghasilkan cahaya.
Penelitian neurobiologi menemukan bahwa neuron, sel-sel otak kita, mampu memancarkan biofoton, yaitu partikel cahaya yang sangat lemah dan hanya bisa dideteksi alat super sensitif. Biofoton ini muncul saat sel-sel saraf aktif, seolah ada kilatan cahaya mikro yang menyala saat kita berpikir, bermimpi, bahkan merenung dalam diam.
Yang membuatnya misterius bukan hanya kemunculannya, tetapi pola cahayanya yang mirip sinyal kuantum. Beberapa ilmuwan berspekulasi bahwa biofoton ini bisa menjadi kunci dari kesadaran, bahkan kemungkinan otak sebagai “komputer kuantum biologis” yang belum kita pahami sepenuhnya.
Lebih dalam lagi, cahaya ini bersinar paling terang di area korteks serebral, wilayah otak yang bertanggung jawab atas kesadaran, logika, dan kreativitas.
Bayangkan—selama ini kita berbicara tentang “pencerahan” pikiran hanya sebagai metafora,
tapi ternyata otak manusia benar-benar memancarkan cahaya dalam kegelapan.
Apakah ini hanya proses biologis biasa?
Atau bagian dari rahasia terdalam tentang siapa kita sebenarnya?
Yuk langsung aja, ini dia jajaran game seluler terbaru dan terbaik dari segala penjuru dunia, dari barat sampe timur, dari Tiongkok ke Jepang, dari Korea sampai ke… HP kalian masing-masing!
1. The Conjuring Coffin
2. Forest Spirit: Farm & Fight
3. Bear’s Barbecue House
4. Bunnysip Tale
5. Raising A Soul Eater
Kalau lo udah coba salah satunya, jangan lupa share pengalaman lo di mari. Atau punya rekomendasi lain? Gaskeun di bawah, kita bahas bareng!
Thanks and see you next thread GanSist.