JP Radar Kediri – Adaptasi anime ke format live action sering kali menjadi sorotan. Ekspektasi tinggi dari penggemar kerap berujung pada kekecewaan ketika hasil akhirnya tidak sesuai harapan.
Beberapa judul bahkan mendapatkan kritik pedas karena dinilai gagal menangkap esensi dari materi aslinya. Fenomena ini bukan hal baru.
Sejumlah proyek adaptasi sudah mencoba menampilkan kisah anime ke dalam versi nyata, baik di Jepang maupun Hollywood. Namun, lebih banyak yang berakhir sebagai proyek yang mengecewakan dibandingkan dengan yang sukses.
Mulai dari Dragonball Evolution hingga Cowboy Bebop, daftar adaptasi yang gagal seakan terus bertambah. Bahkan, beberapa proyek live action dari Netflix juga mendapat kritik serupa. Apa sebenarnya penyebab utama dari kegagalan ini?
Berikut beberapa alasan kenapa banyak adaptasi anime live action sulit mencapai kesuksesan.
Kesulitan Menerjemahkan Visual Anime ke Dunia Nyata
Anime memiliki gaya visual khas yang sulit untuk direplikasi dalam dunia nyata. Dari ekspresi wajah yang berlebihan hingga desain karakter yang ikonik, banyak elemen anime yang tampak alami dalam bentuk animasi justru terlihat aneh ketika diterapkan dalam live action.
Selain itu, efek visual yang digunakan sering kali menjadi kendala. Beberapa film mencoba menghadirkan efek CGI yang mendekati tampilan anime, tetapi hasilnya justru terasa kaku dan tidak realistis. Alhasil, karakter yang sebelumnya hidup dalam dunia animasi justru terlihat aneh atau kurang meyakinkan ketika diadaptasi ke live action.
Naskah yang Berubah dari Sumber Asli
Banyak adaptasi live action yang melakukan perubahan signifikan pada cerita aslinya. Terkadang, hal ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan audiens yang lebih luas atau agar lebih masuk akal dalam format film. Namun, keputusan ini sering kali justru menghilangkan esensi dari kisah yang dicintai penggemar.
Misalnya, dalam “Dragonball Evolution”, banyak elemen cerita yang diubah drastis hingga membuat penggemar sulit mengenali karakter yang mereka kenal. Hal serupa juga terjadi pada “Death Note” versi Netflix, yang mengubah latar, karakter, dan alur cerita, membuatnya terasa jauh dari versi aslinya.
Casting yang Tidak Sesuai
Pemilihan aktor juga menjadi faktor krusial dalam kesuksesan adaptasi live action. Penggemar memiliki ekspektasi tinggi terhadap karakter yang sudah melekat di benak mereka. Jika aktor yang dipilih tidak sesuai dengan gambaran asli, hal ini dapat menimbulkan kontroversi.
Hollywood sering kali menghadapi kritik karena praktik “whitewashing”, yakni memilih aktor kulit putih untuk memerankan karakter yang seharusnya berasal dari budaya lain. Contoh kasus seperti “Ghost in the Shell” yang memilih Scarlett Johansson sebagai Major Kusanagi menjadi bukti bahwa casting yang tidak tepat dapat memicu protes besar dari penggemar.
Durasi yang Terbatas
Anime sering kali memiliki banyak episode untuk mengembangkan karakter dan alur cerita. Saat diadaptasi menjadi film berdurasi dua jam, banyak elemen penting yang harus dipadatkan atau bahkan dihilangkan sama sekali. Hal ini membuat cerita terasa terburu-buru dan kehilangan daya tarik utamanya.
Sebagai contoh, “Attack on Titan” versi live action mengalami banyak perubahan karena keterbatasan durasi. Beberapa karakter utama dihilangkan, sementara alur ceritanya banyak yang dipermudah sehingga terasa kurang memuaskan bagi penggemar berat serial aslinya.
Sutradara dan Tim Produksi yang Tidak Memahami Budaya Anime
Keberhasilan adaptasi anime ke live action sangat bergantung pada pemahaman tim produksi terhadap materi aslinya. Jika sutradara atau penulis naskah tidak memahami karakter, dunia, dan nilai yang terkandung dalam anime, maka hasil akhirnya bisa jauh dari harapan.
Film seperti “Cowboy Bebop” versi Netflix mendapat kritik karena gagal menangkap nuansa noir dan coolness yang menjadi ciri khas versi animenya. Banyak dialog dan adegan yang terasa dipaksakan, membuat penggemar merasa bahwa proyek ini tidak dibuat dengan pemahaman yang mendalam terhadap materi sumbernya.
Mengadaptasi anime ke live action bukan perkara mudah. Ada banyak tantangan mulai dari aspek visual, cerita, hingga casting yang harus diperhatikan agar tetap setia pada materi aslinya. Beberapa proyek memang berhasil, seperti “Rurouni Kenshin” versi live action yang mendapat pujian, tetapi jumlahnya masih sangat sedikit dibandingkan dengan yang gagal.
Bagi penggemar, harapan terhadap adaptasi live action tetap tinggi. Namun, selama industri film belum menemukan formula yang tepat, tampaknya proyek-proyek adaptasi anime ke live action masih akan terus menjadi perjudian besar yang penuh risiko.
jawapos.com